Aspek penting dari komunikasi medis yang efektif adalah partisipasi pasien, yang didefinisikan sebagai “sejauh mana pasien menghasilkan respons verbal yang berpotensi mempengaruhi secara signifikan isi dan struktur interaksi, serta keyakinan dan perilaku mereka” [1]. Masyarakat terutama di pedalaman umumnya kurang berpartisipasi secara aktif dalam upaya meningkatkan kesehatan mereka. Partisipasi yang relatif lebih rendah ini akan menimbulkan masalah kesehatan yang diturunkan dari generasi ke generasi seperti masalah gizi, stunting, dan masalah kesehatan lainnya.

Pemerintah dan ahli kesehatan harus segera melakukan upaya dalam Menyusun langkah dan strategi komunikasi yang berbasis kultural untuk menembus batas dan hambatan dalam pemberian edukasi dan informasi kesehatan. Mengingat kuantitas berkomunikasi yang dilakukan dan jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia. Tidak ada suatu yang lebih penting bagi sebagian besar orang selain berinteraksi dengan orang lain.

Kebijakan yang telah lama dikembangkan adalah pelibatan tokoh masyarakat yang membahas dan membawa komunikasi dengan Bahasa setempat, dan dikemukakan di acara adat atau kultur setempat. Kebijakan Jaring Pengaman Sosial di Indonesia akan digulirkan Pemerintah hingga Pasca Pandemi Covid-19 berakhir. Tekanan akan kekisruhan Kebijakan Jaring Pengaman Sosial pasti akan lebih berat dihadapi Pemerintah Daerah dan Pemerintah di tingkat Desa sebagai perwakilan Pemerintahan Pusat yang terdekat dengan masyarakat [2].

Posisi serta peran pemerintah tidak lain sebagai pemberi informasi sementara masyarakat sendiri sebagai penerima informasi dan melayani apa yang menjadi keputusanpemerintah. Penyampaian pesan yang baik menghasilkan suatu pelayanan yang baik pula. Sehingga unsur komunikasi yang harus dilakukan pemerintah yakni: kemampuan komunikator untuk memahami pesan yang akan disampaikan agar dapat diterima dengan baik, serta kualitas komunikator dalam berkomunikasi [3].

Namun demikian, ketidakpatuhan terhadap kebijakanpun muncul satu persatu ditengah masyarakat, terutama masyarakat pedalaman yang masih kuat memegang adat istiadat mereka. Strategi komunikasi yang hanya mendorong penyampaian info dirasakan masih belum efektif. Penulis merasa dibutuhkan “pemberdayaan kultural” yang menyasar kepada para tokoh masyarakat bahkan generasi muda dari pedalaman harus terus dilakukan bahkan diupayakan lebih dibanding edukasi sewaktu yang dilakukan oleh petugas kesehatan.

Penulis: Epi Dusra, Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Versi PDF: KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN KULTURAL

Bibliography

[1] C. D. Cogburn, “Culture, race, and health: implications for racial inequities and population health,” The Milbank Quarterly, pp. 97(3), 736-761, 2019.
[2] N. F. &. F. H. Ruhyana, “Strategi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sumedang Dalam Penyaluran Bantuan Sosial di Masa Pandemi COVID-19,” Jurnal Khazanah Intelektual, pp. 4(2), 789-804, 2020.
[3] S. Husain, “Komunikasi Stakeholder dalam kebijakan New Normal Pandemi Covid-19 Di Sulawesi Tengah,” Kinesik, pp. 9(1), 91-99, 2022.

Back To Top