Kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier (kondisi pendek/ stunting)sejak dini telah diakui secara luas sebagai hambatan utama bagi pengembangan sumber daya manusia. Prevalensi stunting, istilah umum untuk anak yang pendek dibandingkan usianya, telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun 159 juta anak di seluruh dunia diperkirakan masih terkena dampaknya, lebih dari setengahnya tinggal di Asia [1]. Meskipun semakin banyak literatur yang berkontribusi terhadap pemahaman kita tentang dampak stunting, pengetahuan mengenai penyebab utama rendahnya tinggi badan menurut usia masih terbatas. Secara umum dipahami bahwa pola makan yang tidak memadai dan penyakit merupakan penyebab utama stunting.
Penyebab stunting dilihat dari sudut pandang gizi sudah banyak dilakukan bahkan pemerintah Indonesia telah membuat berbagai regulasi untuk perbaikan gizi anak-anak. Namun penyebab stunting yang berkaitan dengan angka kesakitan akibat maslaah lingkungan masih belum mendapatkan perhatian luas. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi diare sebagai penyakit yang menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan anak [2]. Bahkan diare menjadi salah satu penyebab kejadian stunting secara tidak langsung. Karena gangguan usus yang disebut enteropati lingkungan, yang kemudian dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan.
Sebagian besar kasus diare tersebut diyakini disebabkan oleh pencemaran lingkungan 88% diperkirakan berhubungan dengan air yang tidak aman, sanitasi yang tidak memadai, atau kebersihan yang tidak memadai, Oleh karena itu, fokus penting dari upaya pengurangan stunting salah satunya adalah intervensi yang efektif dan terjangkau yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan penyakit dengan mengatasi akses terhadap air minum yang aman, sanitasi yang memadai, dan perilaku higienis.
Oleh karena itu, strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting mengadopsi kerangka penyebab masalah gizi yaitu “The Conceptual Framework of the Determinants of Child Undernutrition” yang disusun UNICEF; “The Underlying Drivers of Malnutrition” yang disusun IFPRI; dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia” yang disusun Bappenas. Ketiga kerangka tersebut diadopsi menjadi kerangka konsep penyebab dan pencegah stunting Indonesia. Pencegahan stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, dimana faktor ke 4 adalah “Kesehatan lingkungan “ yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan). Keempat factor tersebut secara tidak langsung mempengaruhi asupan gizi dan status gizi Kesehatan terhadap ibu dan anak. Intervensi terhadap keempat factor tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya malnutrisi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi [3]. Penulis berpendapat meskipun faktor sanitasi adalah urutan ke 4 namun penangannnya mampu membawa efek jangka Panjang dan jangkauan kesehatan yang lebih luas bagi masyarakat. Sehingga pemerintah perlu Kembali memprioritaskan penanganan sanitasi terutama akses air bersih di berbagai daerah terpencil terutama di Indonesia bagian Timur.
Penulis: Sunik Cahyawati, Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Versi PDF: SANITASI LINGKUNGAN DALAM UPAYA PENCEGAHAN STUNTING
Bibliography
[1] S. L. D. Spears, “Effects of early-life exposure to rural sanitation on childhood cognitive skills: Evidence from India’s Total Sanitation campaign,” Journal of Human Resources, pp. 10.3368/jhr.51.2.0712-5051R1, 2016.
[2] B. &. R.-L. P. A. Augsburg, “Sanitation and child health in India,” World Development, pp. 107, 22-39, 2018.
[3] E. N. P. D. G. A. C. &. S. D. A. Khasanah, “Kebijakan Penanggulangan Stunting Di Indonesia,” Jurnal Akuntan Publik, pp. 1(2), 217-231, 2023.