Badai penyakit menulai seperti COVID-19 tanpa disadari mengalihkan perhatian kita dari penyakit tidak menular yang sangat membahyakan seperti kanker. Kanker payudara masih menjadi penyebab utama kematian Wanita akibat penyakit tidak menular di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang angka ini bisa jauh lebih tinggi [1]. Skrining dan pencegahan kanker primer dan sekunder menjadi salah satu tombak dalam upaya menyelesaikan masalah ini.

Program nasional skrining kanker serviks dan payudara dimulai sebagai proyek percontohan pada tahun 2007 oleh 6 kabupaten dari 6 provinsi di Indonesia: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Pada bulan April 2008, program ini diluncurkan sebagai program nasional oleh Ibu Negara Indonesia. Program skrining kanker serviks menggunakan metode skrining Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan cryotherapy untuk lesi IVA positif. Skrining kanker payudara dilakukan dengan Clinical Breast Examination (CBE) [2]. Namun hingga tahun 2022 penelitian mencatat bahwa pencapaian pemeriksaan skrining hanya 9.8% sedangkan target nasional adalah 40%.

Hal ini sangat disayangkan mengingat Kementerian Kesehatan Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten, mengembangkan dan melaksanakan program ini. Hal ini diperkuat dengan peraturan nasional yang menyatakan bahwa skrining kanker serviks dan payudara merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit tersebut (Kemenkes, 2015b). Hal ini juga menjadi salah satu sasaran standar pelayanan kesehatan minimal pemerintah daerah yang merupakan kewajiban pemerintah sejak 2014 [3], kedua program skrining tersebut didukung oleh Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS melalui skema non kapitasi. Namun, dalam implementasi kebijakan ini penulis memandang masih banyak hambatan yang ditemui dan hambatan tersebut mulai dari pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, konsistensi penerapan dan penerimaan masyarkat.

Dalam tahap pembuatan kebijakan terkait deteksi dini penerintah belum memastikan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang deteksi dini dengan maksimal seperti belum tercovernya tes mammografi tanpa indikasi [4]. Selain itu, pemerataan form clinical breast examination dan penggunaannya juga belum dipahami oleh semua tenaga kesehatan sehingga upaya skrining awal masih berfokus pada keluhan pasien, apabila keluhan telah dialami maka besar kemungkinan tunor atau kanker sudah memasuki tahap lanjut.

Tahap implementasi juga masih banyak menemui hambatan dalam penerimaan dan partisipasi masyarakat yang rendah [5] [6]. [7]. Kurangnya pemahaman [8] dan urgensi masalah masih membuat masyarakat enggan melakukan pemeriksaan dikarenakan rasa takut akan hasil yang didapatkan jika memang positif. Upaya memperkuat skrining harus segera dilakukan karena penelitian memprediksi pada 2030 akan muncul sekitar 21.7 juta kasus baru untuk kanker payudara dan 70% dari negara berkembang. Sehingga mengoptimalkan upaya skrining menjadi keharusan.

Penulis : Aquartuti Tri Darmayanti, Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Versi PDF: Perkuat Upaya Skrining Guna Mewaspadai Badai Kasus Kanker Payudara

Bibliography

[1] P. J. McCormick, “Cancer tsunami: Emerging trends, economic burden, and perioperative implications,” Current anesthesiology reports, pp. 8(4), 348-354, 2018.
[2] M. F. R. S. F. &. H. S. R. Wahidin, “Twelve years implementation of cervical and breast Cancer screening program in Indonesia,” Asian Pacific Journal of Cancer Prevention: APJCP, pp. 23(3), 829, 2022.
[3] Kemenkes, “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan,” Kementerian Kesehatan, 2016.
[4] L. I. A. V. d. W. M. J. M. v. A. A. D. K. W. T. F. Y. I. &. R. A. A. Choridah, “Knowledge and acceptance towards mammography as breast cancer screening tool among Yogyakarta women and health care providers (mammography screening in Indonesia),” Journal of Cancer Education, pp. 36(3), 532-537, 2021.
[5] C. D. A. S. J. R. S. L. M. &. A. B. O. Duggan, “Situational analysis of breast health care systems: Why context matters,” Cancer, pp. 126, 2405-2415, 2020.
[6] R. &. N. K. Widiasih, “Muslim husbands’ roles in women’s health and cancer: The perspectives of Muslim women in Indonesia,” Asian Pacific journal of cancer prevention: APJCP, pp. 19(6), 1703, 2018.
[7] T. K. R. R. A. D. M. A. R. &. M. K. Dewi, “Breast self-examination as a route to early detection in a lower-middle-income country: assessing psychosocial determinants among women in Surabaya, Indonesia,” BMC Women’s Health, pp. 22(1), 179, 2022.
[8] A. V. C. L. V. A. A. D. V. J. P. P. M. J. R. A. A. &. K. K. Icanervilia, “Early Detection of Breast Cancer in Indonesia: Barriers Identified in a Qualitative Study,” Asian Pacific Journal of Cancer Prevention: APJCP, pp. 24(8), 2749, 2023.

Back To Top